“DANDELION”
Tak banyak
orang tau akan keberadaan bunga itu. Dandelion dapat hidup dimana saja,
meskipun di semak belukar. Dandelion itu terlihat rapuh, namun sebenarnya
sangat kuat dan indah. Begitu juga dengan seorang gadis cantik yang ku kenal.
Dia adalah gadis yang sangat kuat. Meskipun fisiknya lemah. Dia tak berhenti
mengejar cita-citanya sampai cita-cita itu kandas oleh takdir kehidupannya.
Bandung, 28 April 2007,
07.53 wib
Aku terduduk lemas disalah satu kursi ‘waiting room’ yang ada
di Rumah Sakit Harapan. Rambut ku
acak-acakan, wajahku pucat, keringat tak henti-henti mengalir diseluruh tubuh
ku. “arrgh.. ini semua salahku” teriakku dengan suara parau sambil
mengacak-ngacak rambutku yang sudah acak-acakan. “bodohnya aku ! lelaki seperti
apa aku ini!!” ucapku lagi yang kali ini sambil memukuli diri ku sendiri.
“sudahlah Vin, tak ada gunanya kamu menyakiti dirimu sendiri. Tak ada yang dapat kita perbuat sekarang ini
selain berdoa untuk keselamatannya.” Ucap Bayu menenangkanku. “tapi Bay, ini
salahku. Aku tak dapat menjaganya.” Ucapku yang selalu menyalahkan diriku.
“KEVIN. Dengar kataku ini semua kehendak Tuhan tak ada yang menginginkan Almira
seperti ini. Ini bukan salah kamu.” Maki
Bayu kepadaku. “tidak Bay, aku yang menyebabkan Almira seperti ini. Aku yang
bersalah.” PLAK. Satu tamparan mendarat di pipi kananku. “maaf Vin, aku hilang
kendali.” Sesal Bayu. “tampar aku lagi Bay, aku memang pantas mendapatkannya.
Aku yang membuat Almira, adikmu tertabrak
sampai sekarang ia harus mati-matian menantang maut. Seharusnya aku yang
disitu. Bukan Almira.” Desahku dengan suara yang samar-samar.
Lelaki yang biasanya tegar itu tampak benar-benar menyesal,
matanya yang bulat dengan warna kecoklatan tampak sembab karena airmatanya tak
henti-henti mengalir sejak sebuah peristiwa yang disaksikan oleh kedua matanya
membuat Almira, wanita yang sejak 4 tahun terakhir dipacarinya dilarikan ke UGD
dan sekarang tengah berjuang melawan malaikat pencabut nyawa.
Suasana sempat hening seketika sampai tak lama kemudian keluarlah
dokter dari ruangan yang sejak tadi kami tunggu. “dok, bagaimana keadaan
Almira?” Tanyaku sangat khawatir melihat raut wajah dokter tersebut. “maaf mas,
semua sudah kami lakukan. Tapi Tuhan lebih sayang kepadanya.” Jawab dokter itu
sambil pergi meninggalkan ku dan Bayu diikuti dengan para susternya.
“TIDDAAKKKKK….. Tuhan tidak adil ! kenapa? Kenapa tak kau biarkan dia hidup
mendampingiku Tuhan?” teriak ku menyalahkan takdir Tuhan. “sudah Vin, ini sudah jalan hidup
Almira. Iklaskan dia.” Ucap Bayu sambil memegang pundak ku lalu masuk kedalam
ruangan itu untuk melihat jenazah sang adik. “selamat jalan Mir.” Ucap Bayu
sambil mengecup kening Almira.
“kamu tak ingin
melihat Almira untuk yang terakhir kalinya Vin?” tanya Bayu. “aku tak sanggup
Bay.” Jawabku lalu berlari menyusuri lorong-lorong dengan tembok berwarna putih
itu. Aku berlari dan terus berlari hingga aku sampai ke suatu taman yang hanya
aku dan Almira saja yang mengetahuinya. Ku ambil bola basket yang terletak
dibawah salah satu pohon besar disana. Ku drible berulang-ulang bola basket
tersebut, namun tak satupun shuttingku yang dapat masuk ke ring tersebut.
“arghh.. Tuhan benar-benar tidak adil kepadaku.. kenapa Almira harus pergi
meninggalkanku? Kenapa?” tanya ku sekencang-kencangnya lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri dan tubuhku
terhempas ke tanah.
Berjam-jam aku tergeletak disana
sampai ponselku berdering membangunkanku dari pingsanku. Ku lihat layar
ponselku dan kudapati sebuah pesan dari Bayu ‘cepat pulang. Almira akan segera dikebumikan’. Aku pun segera
bangun dan berlari menuju rumah Almira. Sesampainya di rumah Almira, tak
seorangpun ku dapati disana. “pemakaman” fikirku, lalu segera berlari dan
berlari menuju ‘TPU’ dekat rumah Almira. Dan yups, tapat. Almira sedang
dimakamkan. “kemana saja kamu Vin?” tanya Bayu kepada ku namun tak ada jawaban
terlontar dari bibirku. Selama acara pemakaman Almira berlangsung, aku sama
sekali tak mengeluarkan kata sedikitpun. Namun air mataku selalu mengalir dari
kedua pelupuk mataku. Sampai akhirnya pemakaman selesai dan semua orang
beranjak dari situ. Tapi tidak denganku, aku terus disitu, duduk terdiam dan
membisu. Mulutku mengaga dan berucap “Almria, aku ingin ikut.” Satu kalimat
yang sejak tadi ingin sekali ku keluarkan. Aku benar-benar lemah dan tak ada
semangat untuk menjalani kehidupan lagi. Bagiku tak ada gunanya aku hidup jika
wanita yang sangat aku cintai pergi meniggalkanku. “Almira, aku ingin ikut.”
Kalimat itu lagi-lagi ku lontarkan. Tapi kali ini dengan suara yang benar-benar
parau serta diiringi dengan tangisan oleh alam semesta yang seakan merasakan
apa yang aku rasakan saat itu. “Almira, kamu lihat sayang, langitpun menangis
tak mengikhlaskan kamu pergi.” Ucapku sambil merebahkan kepala ku diatas pusara
Almira dengan tetesan air hujan yang terus mengguyurku. “tunggu aku di surga
sayang.”
Bandung, 10 September 2007, 10.38 wib
Hari ini, hari menjelang 5 bulan
kepergian Almira, dan tepat di hari ini aku pergi meniggalkan kota Bandung
untuk mencari peruntungan di ibu kota. Selain itu aku ingin mencoba melupakan
sosok Almira walaupun tak sepenuhnya dapat ku lakukan. Bagiku Bandung mempunyai
sejuta kenangan saat-saat aku dan Almira melewati hari-hari bersama. Pedih
memang ketika ku putuskan untuk meninggalkan kota yang mengukir banyak sejarah
hidupku ini. Tapi ini harus aku lakukan, bukan untuk seutuhnya melupakan
Almira, tapi untuk mencoba tak selalu terpuruk dengan kenyataan yang tak sesuai
dengan apa yang aku harapkan.
Semua pakaian sudah tersusun rapi
didalam sebuah koper yang dapat dikatakan berukuran paling besar berwarna hitam
kecoklat-coklatan. Kemudian pandangan ku tertuju pada sebuah bingkai foto yang
terpampang diatas meja belajarku. Bingkai foto yang berisi foto Almira, foto
yang sejak dulu menjadi penyemangat hidupku –bahkan hingga saat ini- Ku raih
bingkai foto tersebut dan kumasukkan ke dalam koper dan segera ku tarik reksletingnya.
Bergegas ku tarik koper tersebut menuju ke sebuah taksi yang sudah menungguku
sejak tadi. “selamat tinngal Bandung, selamat tinggal Almira. Kenang aku
dihatimu, bawa pergi cintaku, simpan semua kenagan kita dihatimu.” Ucapku
sambil menutup kaca mobil disertai dengan jatuhnya butiran-butiran cristal cair
di pelupuk mataku.
Jakarta, 16 April 2008, 19.37 wib
“pada malam hari ini kita akan
dihibur oleh penyanyi yang baru bergabung di ‘cafe balerina’. Baiklah kita
sambut pria tampan berkulit putih yang bernama ‘Kevin Marvelo’ semoga terhibur.
Selamat menyaksikan.” Ucap seorang MC cafe balerina yang mengenakan kemeja
kotak-kotak berwarna putih, celana jeans hitam pekat dengan rambut
jabrik-jabrik.
Takkan
pernah habis air mataku
Bila ku ingat tentang dirimu
Mungkin hanya kau yang tahu
Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri
Adakah disana kau rindu padaku
Meski kita kini ada di dunia berbeda
Bila masih mungkin waktu berputar
Kan kutunggu dirimu …
Reff:
Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah diriku dalam kedamaian
Ingatlah cintaku kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi …
Bila ku ingat tentang dirimu
Mungkin hanya kau yang tahu
Mengapa sampai saat ini ku masih sendiri
Adakah disana kau rindu padaku
Meski kita kini ada di dunia berbeda
Bila masih mungkin waktu berputar
Kan kutunggu dirimu …
Reff:
Biarlah ku simpan sampai nanti aku kan ada di sana
Tenanglah diriku dalam kedamaian
Ingatlah cintaku kau tak terlihat lagi
Namun cintamu abadi …
Saat lagu
sedang berlangsung seketika ruangan ber-AC itu hening, yang terdengar hanya
dentingan gitar dan alunan suara indah dari mulut Kevin. Saat senar gitar
selesai ku petik, seketika itu juga suasana ruangan berubah menjadi bergemuruh
dengan sorak-sorai tepuk tangan para pengunjung cafe. “selamat Kevin, sepertinya
kamu sangat disukai oleh pengunjung cafe ini. Suara mu bagus, permainan gitarmu
sudah seperti gitarist handal. Kamu pun sangat menjiwai lagu tersebut. Lagu itu
sangat merasuk dengan jiwamu.” Ucap salah seorang pengunjung cafe berjas itu
kepadaku. “terima kasih pak, lagu itu adalah sebuah lagu yang ku ciptakan untuk
seorang wanita yang sangat sangat aku cintai.” Jelasku singkat namun pasti.
“pasti wanita itu adalah wanita yang sangat beruntung. Kalau ada waktu, mapir
ke studio ku ya.” Ucapnya sambil memberikanku sebuah kartu nama.
Jakarta, 28 April 2008
Hari ini
tepat setahun kematian Almira, tapi bayang wajahnya masih jelas terekam
diingatanku. Memang ku akui, sangat sulit menghapus bayang-bayang wajahnya
meski sering kali ku coba untuk mencari penganti dirinya, tapi hatiku selalu
terisi oleh namanya. Sampai ku putuskan hari ini aku akan mengunjungi pusara
Almira yang 7 bulan terakhir tak sempat ku kunjungi. Sudah lama memang aku tak
mengunjunginya sejak aku pindah ke Jakarta. Kebetulan hari ini bertepatan
dengan MnG ku yang diadakan di kota kelahiranku itu.
Setelah
sampai di Bandung, ku putuskan untuk terlebih dahulu mengunjungi pusara Almira.
Kubawakan bunga tulip kesukaannya. Dan lagi-lagi airmataku selalu menetes saat
mengingatnya. Aku selalu tampak seperti laki-laki yang paling lemah di dunia.
Aku yakin Almira tak akan suka jika melihat aku dalam keadaaan seperti sekarang
ini. “tak terasa ya Mir, sudah setahun kita tak bersama. Hidupku hampa tanpa
kamu. Aku jadi tak bersemangat lagi menjalani kehidupan ini. Tapi aku yakin,
kamu sudah tanang di surga. Jadi aku selalu berusaha untuk mengikhlaskanmu
meskipun itu sangat sulit Mir, sulit sekali ku lakukan.” Adu ku pada setumpuk
tanah berbatu nisan yang bertulisan nama seorang wanita yang dari dulu kepergiannya
hingga sekarang sangat sulit aku lupakan. Mungkin karena aku terlalu sangat
sangat mencintainya.
Ku lirik jam
tangan yang melingkar di pergelangan tanganku ’15.45’ batinku. “aku harus
segera pergi Mir. Tunggu aku selalu. Aku mencintaimu kemarin, hari ini dan
untuk selamanya.” Pamitku lalu bergegas menuju mobilku yang terparkir didepan
pemakaman dan aku pun segera meluncur ke acara MnG yang diadakan disuatu pusat
perbelanjaan yang ada di tengah-tengah kota mode itu yang sering orang sebut
‘Paris Van Java’. Saat mobil ku sampai disana, banyak fans-fans yang berlarian
kearah mobilku. Segera para penjaga keamanan disana melindungiku dari
keanarkisan para fans yang terlalu fanatik kepadaku. Ku lemparkan sebuah
senyuman ke seluruh pasang mata yang ada disana dan aku segera pergi menuju
tempat acaraku dibuat. “KEVIIIIIIINNNNN” terdengar sorak-sorak orang
meneriakkan namaku diiringi dengan tepuk tangan yang sangat meriah. Lalu aku
mulai beraksi memetik senar-senar gitar. Suasanapun bertambah meriah. Saat ku
nyanyikan satu baris pertama, suara yang dari tadi terdengar sangat riuh kini
mulai menghilang digantikan dengan suasana yang hening. Terlihat hampir seluruh
peserta MnG mengeluarkan airmata. Entah apa yang membuat mereka menangis,
akupun tak mengetahuinya. Kemudian ku pandangi seluruh orang yang hadir disana
satu persatu hingga mataku tertuju pada seorang gadis berambut sebahu berbando
merah muda duduk diatas kursi roda sambil memegang posterku yang berukuran
besar. Entah kenapa aku teringat Almira saat melihat mata gadis itu
berbinar-binar. Perasaanku jadi campur aduk saat itu. Antara tak percaya dan
bahagia.
Setelah
selesai lagu ku nyanyikan, aku berbalik kebelakang panggung. Dan kudapati gadis
itu sedang menunggu ku dengan wajah sumringah. Spontan ku sebut nama ‘Almira’
ketika berhadapan dengannya. “siapa Almira kak?” tanyanya. “eee... Almira itu
wanita penting di hidupku.” Jawabku pasti. “kamu mirip sekali dengannya.”
Lanjutku sambil menatap dalam mata gadis itu. “jika dia masih hidup, dia pasti
seumuran denganmu.” Timpalku lagi. “jadi Almira sudah.....” kata-katanya
terputus saat melihat raut wajahku tiba-tiba berubah. Lalu aku pun mengangguk
kecil membenarkan kata-kata gadis itu yang tak sampai habis dilontarkannya.
“maaf kak, Deli tak bermaksud......” lagi-lagi kata-katanya terputus. “tidak
apa-apa...” sahutku sambil menaikkan alis seakan mengatakan ‘siapa namamu’.
“namaku Deli kak, Dandelion tepatnya.” Ucapnya sambil tersenyum. ‘astaga,
senyumnya sama persis dengan senyum Almira. Apa ini salah satu takdirmu Tuhan’
seru ku dalam hati.
Tenang, sebuah perasaan yang aku rasakan saat
berada disampingnya. Sebuah perasaan yang sudah sejak setahun belakangan ini
tak pernah ku rasakan lagi. “itu ibu mu Deli?” tanya ku pada Dandelion sambil
melirik ke arah wanita paruh baya yang duduk tersenyum di pojokan ruangan. Dan
dibalas dengan sebuah anggukan dari Dandelion. “eh ngomong-ngomong namamu aneh
Del.” Ujarku sambil tertawa kecil. “akh kakak, jangan diketawain. Nama ini
diberikan oleh Alm. Ayah Deli. Deli pun tak tau pasti apa artinya. Yang Deli
tau, kata bunda, Dandelion itu indah dan sangat kuat.” Jelasnya dengan bangga
akan namanya yang siapa pun mendengarnya pasti akan mengatakan ‘aneh’.
Jakarta, 11 Juni 2008
Ku dapati
kabar bahwa Dandelion sedang di rawat disebuah rumah sakit ternama di Jakarta.
Saat ku dengar kabar itu aku segera pergi kesana, entah kenapa perasaanku
menjadi sangat aneh. Aku seperti merasakan sama seperti apa yang aku rasakan saat Almira sedang
melawan maut dahulu. Jantungku terasa berdenyut semakin kencang memompa aliran
darah di tubuhku. Kakiku semakin cepat ku langkahkan menyusuri lorong putih
hingga akhkirnya aku tiba di sebuah ruangan ‘VIP’ yang bertulisan ‘ruang
cemara’ diatas ruangan yang serba putih itu disertai dengan bau obat-obatan. Aku
tak tau kenapa Dandelion sampai harus dirawat di ruangan ini. Saat ku masuki
ruangan itu, aku melihat sosok Dandelion sedang tertidur pulas dengan wajah
yang agak pucat serta rambut yang menipis. “Dandelion” panggilku pada gadis
yang terlelap itu. Berulang-ulang ku sebut namanya dan pada saat panggilan
kelima matanya perlahan-lahan membuka. “Kak Kevin” ucapnya dengan sebuah
senyuman yang biasa tercipta dari bibirnya. “kamu kenapa Deli?” tanyaku sedikit
khawatir. “Deli divonis kena leokimia kak,
sejak setahun yang lalu dan sekarang sudah mencapai stadium akhir. Dan kata
dokter Deli Cuma bisa bertahan kurang dari sebulan kak.” Jelasnya tanpa ragu
dan terlihat wajah pasrah diraut mukanya. Bangga aku padanya. Jika aku berada
diposisinya belum tentu aku dapat sekuat dan setegar dia. Perasaan kagumku
bertambah padanya. Atau bahkan perasaan suka? Entahlah. Aku pun tak dapat
membedakan dua buah perasaan itu. “eh kak, nanti tanggal 18 datang kan?”
tanyanya padaku. “kemana Del? Konser di Balai Sarbini? Datang dong. Kakak kan
salah satu pengisi acaranya.” Jawabku dengan tampang tanpa dosa. “bukan kak,
kakak lupa ya tanggal 18 kan Deli ulang tahun yang ke 18.” Ucapnya sambil
mengelembungkan kedua pipinya yang berhasil membuatku tertawa geli melihatnya.
“ya ampun. Kakak lupa Del, maaf ya cantik. Kakak pasti datang kok.” Janji ku
yang berhasil membuat senyuman tercipta dari bibir Dandelion.
18 Juni 2008
Aku bimbang,
aku harus ke rumah sakit atau ke acara yang sudah ku tanda tangani kontraknya.
Terbersit sebuah kalimat dibenakku ‘Dandelion
kan lagi saki. Dia tidak akan
kemana-mana’ . lalu ku putuskan untuk pergi ke acara itu, karena jika tidak
aku akan bermasalah dengan hukum. Seperti didalam ilmu ekonomi ada ‘biaya
peluang’ yaitu mengorbankan salah satu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih
baik. Walaupun aku tau kalau aku sudah berjanji pada Dandelion. Tanpa kusadari
ponselku mati pada hari itu jadi aku tak mengetahui apakah ada yang
menghubungiku. Seharian aku berada di acara itu bahkan aku pun tak teringat
lagi akan Dandelion yang pasti sedang menunggu ku.
19 Juni 2008
Aku berlari
melintasi lorong putih itu lagi. Jantungku berpacu memompa kaki untuk meleset
lebih cepat. Sampai diujung lorong aku mendengar isakan tangis orang ramai
berkumpul di depan ruangan yang hampir selama sebulan ini setiap hari ku
masuki. Ada perasaan yang aneh menggumpal di dada ku memaksa ingin keluar.
Perlahan aku memasuki kerumunan itu sambil menguatkan hati dan berharap kalau
apa yang aku dengar di telpon tadi pagi hanya lelucon. Kekuatan ku runtuh
ketika melihat tubuh tergolek lemas, pucat pasi, matanya tertutup, sebuah
selimut putih menyelimutinya. Aku mendekat dan melihat lebih jelas. Kini
bendungan yang ku tahan sejak tadi luluh, cairan bening mulai mengalir membuka
luka baru sebelum yang lama hilang. Aku menyentuh tangannya dibalik selimut.
Dingin, dingin, dan kaku seperti es. Dia tak pernah seperti ini sebelumnya, dia
selalu hangat dan ceria meskipun duduk di kursi roda. Ku kuasai emosi yang
bergejolak tidak menentu dan mulai berkata-kata “Dandelion” ucapku lirih.
“Dandelion, ini kak Kevin. Maaf kakak tidak datang kemarin. Kakak lagi...
bingung. Dandelion, tolong jangan marah. Tolong bangun dan bilang kamu tidak
marah sama kakak.” Ucapku berulang kali seperti orang ‘bodoh’ karena siapapun
tahu walau kau berbicara seribu kata, dia tak akan menjawab satupun
perkataanmu. Aku mulai menunduk dan ku rasakan seseorang menyentuh bahuku. Aku
menoleh dan PLAAKK. Sebuah tamparan mendarat di pipi ku. “kenapa kamu tidak
datang kemarin Vin? Kenapa?” tanya ibu Dandelion kepadaku dengan raut muka
penuh dengan emosi. “maaf tante, Kevin lagi... lagi..” jawabku terisak. “lagi
apa Vin? Kamu tidak tau kan kalau semalam Dandelion menunggumu sampai jam 3
pagi, sampai-sampai dia drop. Tapi
kamu tidak juga datang menemuinya.” Jelas wanita paruh baya itu. “kamu tau Vin?
Semalam itu adalah hari yang ditunggu-tubggu oleh Dandelion. Dia ingin
mengungkapkan perasaannya kepadamu. Tapi apa? Kamu malah tak datang?”
lanjutnya. “jadi Deli...?” tanyaku terbata-bata. “tapi semua sekarang sudah
terlambat Vin.”
***
Kini aku
terduduk diatas tanah basah menyesali semua keputusan yang ku ambil kemarin.
Dan untuk kedua kalinya sebuah penyesalan yang ‘pasti’ akan ku sesali seumur
hidup menimpa kehidupan ku. Kalimat itu selalu membayang-bayang dibenakku,
kalimat paling bodoh yang pernah ada difikiranku. ‘Dandelion kan lagi sakit. Dia pasti tidak akan kemana-mana.’ Ku
letakkan serangkaian bunga Dandelion yang sudah mulai melayu diatas tumpukan
tanah yang ada dihadapanku. Ku usap batu nisan bertulisan namanya seakan-akan
aku sedang mengusap kepala Dandelion sambil berkata, “Happy birthday Dandelion.
Aku sayang kamu. Hiduplah dengan abadi di tempat yang berbeda. Dan tetaplah
jadi Dandelion ku yang kuat dan tegar.”
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar