STUDI KASUS
Perkembangan Inteligensia Pada Kognitif Anak
Tugas Mandiri Diajukan Untuk Memenuhi
Sebagian
Tugas Matakuliah Psikologi Belajar
Disusun Oleh :
Nama : Rita
Susanti
NIMKO : 1209.12.06641
Program : Strata Satu (S-1)
Program
Studi : PAI
Semester
/ Lokal : II
(dua) / C
Dosen Pengampu : Hermanto, S. Psi
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah
“Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti.
Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah
kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia /
satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap
perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan,
memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah,
pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Berbicara
mengenai intelegensi biasanya memang dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan
masalah, kemampuan untuk belajar, ataupun kemampuan untuk berpikir abstrak.
Perkataan intelegensi dari kata latin “intelligere” yang berarti
mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to
organize, to relate, to bind together). Istilah intelegensi kadang-kadang atau
justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi
sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli
intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian
intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Sulit untuk membuat suatu defenisi yang memuaskan mengenai intelegensi.
Sulit untuk membuat suatu defenisi yang memuaskan mengenai intelegensi.
B.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
saya membuat karya tulis ini agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum
khususnya mahasiswa dalam proses perkuliahan.
BAB II
IDENTITAS RESPONDEN (anak yang diteliti)
A. DATA RESPONDEN
a. Nama : Vera
Mutiara Ramadani
b. Tempat Lahir : Tembilahan
c. Tanggal Lahir : 10 November 2003
d. Kelas : III (Tiga)
e. Tempat Sekolah : SDN 008 Tembilahan Hulu
f. Alamat Rumah : Jl. Sederhana Gg. Kacang
g. Hobby : Membaca
B. DATA ORANGTUA RESPONDEN
Ayah :
a.
Nama
: Ilmi
b.
Tempat
Lahir : Lintau
c.
Tanggal
Lahir : 15 Juli 1959
d.
Pendidikan
Terakhir : SLTA
e.
Alamat
Rumah : Jl. Sederhana Gg. Kacang
Ibu :
a.
Nama
: Tuti
Herawati
b.
Tempat
Lahir : Tembilahan
c.
Tanggal
Lahir : 14 Juli 1977
d.
Pendidikan
Terakhir: SD
e.
Alamat Rumah : Jl. Sederhana Gg. Kacang
C. OBSERVASI YANG DILAKUKAN
1.
Observasi
Pertama
Hari :
Selasa
Tanggal
: 19 Maret 2013
Pukul
: 17.15 wib
Tempat
: Rumah Responden
2.
Observasi
Kedua
Hari
: Jum’at
Tanggal
: 22 Maret 2013
Pukul
: 08.47 wib
Tempat
: Rumah Responden
3.
Observasi
Ketiga
Hari
: Rabu
Tanggal
: 27 Maret 2013
Pukul
: 16.27 wib
Tempat
: Rumah Responden
BAB III
PERMASALAHAN
YANG DIHADAPI
- Keadaan Anak
1.
Fisik
Anak
Keadaan fisik sangat mempengaruhi proses belajar. Menurut
studi kasus yang saya lakukan kondisi fisik responden tidak mengalami kecacatan
apapun, hanya saja responden mengalami strabismus. Selain itu, responden juga
gmpang mengalami sakit apabila kelelahan dalam beraktivitas.
2.
Mental
Anak
Selain
keadaan fisik, keadaan mental juga sangat berpengaruh terhadap proses belajar.
Dari studi kasus yang saya lakukan, responden tidak ada mengalami kelainan
mental. Responden sama seperti anak-anak normal pada umumnya.
3.
Kelemahan
Anak
Anak
yang saya teliti mempunyai kelemahan dalam mata pelajaran bahasa inggris,
mungkin karena mata pelajaran itu merupakan mata pelajaran dengan bahsa asing
sehingga sulit untuk dipahami.
4. Kelebihan
Anak
Dari hasil studi kasus yang
saya lakukan, anak ini inteligensinya sangat tinggi, terbukti dari hasil
raportnya yang selalu mendapat peringkat 3 besar di kelas. Selain itu, anak
yang saya teliti ini juga rajin dalam hal membantu orang tua. Serta ia rajin
untuk mengaji sehabis pulang sekolah.
- Permasalahan Anak
- Terhadap diri sendiri
Inteligensi
anak sangat berpengaruh pada hasil belajarnya, dari hasil studi kasus yang saya
lakukan anak ini mempunyai inteligensi yang sangat tinggi, permaslahan yang
biasanya ia hadapi yaitu lebih cenderung ke egonya yang sangat tinggi.
- Orangtua
Orangtua sangat memengaruhi kegiatan belajar.
Sifat orangtua dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Orangtua
yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik. Dari
studi kasus yang saya lakukan orangtua responden sangat memanjakan anaknya,
tetapi untungnya hal itu berdampak positif bagi si anak, terbukti dengan hasil
raportnya yang selalu menapat peringkat 3 besar di sekolah tempat ia menuntut
ilmu. Selain itu, apabila si anak mendapat peringkat maka orangtuanya akan
memberikan hadiah sebagai apresiasi atas keberhasilan anak tersebut, sehingga
responden akan semangat dalam belajar.
- Lingkungan
Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal
siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak
pengangguran dan anak telantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa,
paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau
meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya. Untung saja
responden yang saya teliti hidup di lingkungan yang pergaulannya dapat
dijadikan sebagai wadah belajar bersama teman-teman sebayanya. Pernah saya
melihat, banyak anak-anak di daerah tempat tinggalnya tengah bermain sambil
belajar mengenai pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sehingga responden tidak
hanya belajar di sekolah tapi juga dapat
belajar di lingkungan masyarakat tempat ia tinggal.
- Sekolah
. Lingkungan sekolah, seperti
guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar
seorang siswa. Hubungan yang harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi
bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. maka para pendidik, orangtua,
dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimiliki oleh anaknya atau
peserta didiknya, antara lain dengan mendukung dan ikut mengembangkannya.
Berdasarkan studi kasus yang saya lakukan, responden ingin pindah sekolah
gara-gara dijahili oleh teman sekelasnya sampai sepeda responden yang baru beli
rusak, serta tak jarang responden diusili oleh teman sekelasnya itu.
BAB IV
DASAR TEORITIS
A. Teori kognitif
1. Pengertian Teori Kognitif
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
2. Karakteristik Teori Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
3. Tokoh Teori Belajar Kognitif
· Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”
Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi
intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa
proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret
menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya
mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas
mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan
intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain,
daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula
secara kualitatif.
B. Intelegensi
1. Definisi
intelegensi
Berbicara mengenai
intelegensi biasanya memang dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan masalah,
kemampuan untuk belajar, ataupun kemampuan untuk berpikir abstrak. Perkataan
intelegensi dari kata latin “intelligere” yang berarti mengorganisasikan,
menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to organize, to relate, to
bind together). Istilah intelegensi kadang-kadang atau justru sering memberikan
pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang
mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli intelegensi mengandung
bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri
memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Sulit untuk membuat suatu defenisi yang memuaskan mengenai intelegensi.
Sulit untuk membuat suatu defenisi yang memuaskan mengenai intelegensi.
Kita akan melihat beberapa batasan yang diberikan
oleh para ahli lalu kita berusaha merangkum dan menguraikan ciri-cirinya. Menurut
panitia istilah Padagogik (1953) yang mengangkat pendapat Stern yang dimaksud
intelegensi adalah “daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan
menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya”.
Menurut V. Hees,
intelegensi ialah “sifat kecerdasan jiwa”. K. Buhler, mengatakan bahwa
intelegensi adalah “Perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian”. David
Wechsler, seorang ahli di bidang ini memberikan definisi mengenai intelegensi
mula-mula sebagai “kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi
untuk mengatasi tantangan-tantangannya”. Pada kesempatan lain ia mengatakan
bahwa intelegensi adalah “kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungan-lingkungannya secara efektif”.
Dari definisi-definisi
yang disajikan di atas, kita menarik beberapa kesimpulan yang akan menjelaskan
ciri-ciri intelegensi:
o Intelegensi merupakan suatu kemampuan
mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu,
intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan
dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu.
o Intelegensi tercermin dari tindakan
yang terarah (lihat no. 1) pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang timbul dari padanya.
Menurut arah dan hasilnya,
intelegensi ada dua macam, yaitu:
Intelegensi
praktis. Ialah intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit dalam
sesuatu kerja, yang berlangsung secara cepat dan tepat.
Intelegensi
teoritis. Ialah intelegensi untuk dapat mendapatkan suatu fikiran penyelesaian
soal atau masalah dengan cepat dan tepat.
2.
Teori Intelegensi
Teori-teori tentang intelegensi
memang cukup bervariasi, di bawah ini akan dipaparkan beberapa teori dari para
ahli. Menurut Morgan, dkk. (1984) ada dua pendekatan yang pokok dalam
memberikan definisi mengenai intelegensi itu, yaitu (1) pendekatan yang melihat
faktor-faktor yang membentuk intelegensi itu, yang sering disebut sebagai
pendekatan faktor atau teori faktor, dan (2) pendekatan yang melihat sifat
proses intelektual itu sendiri, yang sering dipandang sebagai teori
orientasi-proses (process-oriented theories).
a.
Teori-teori
Faktor
Di depan telah dipaparkan
mengenai bermacam-macam pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan intelegensi
itu dari beberapa orang ahli. Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapatlah
dikemukakan bahwa dalam intelegensi itu didapati adanya faktor-faktor tertentu
yang membentuk intelegensi, inilah makna dari teori faktor. Mengenai
faktor-faktor apa yang terdapat dalam intelegensi, diantara para ahli belum
terdapat pendapat yang bulat.
Seperti dikemukakan oleh
Thorndike dengan teori multi faktornya, yaitu bahwa intelegensi tersusun dari
beberapa faktor, dan faktor-faktor itu terdiri dari elemen-elemen, dan
tiap-tiap elemen terdiri dari atom-atom, dan tiap-tiap atom merupakan hubungan
stimulus-respons. Jadi suatu aktivitas yang menyangkut intelegensi adalah
merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang berkombinasi satu dengan yang
lainnya.
Menurut Spearman
intelegensi itu mengandung dua macam faktor, yaitu general ability atau general
factor (faktor G), dan special ability atau special factor (faktor S). Karena
itu teori Spearman dikenal sebagai teori dwi-faktor atau two-factor theory.
Menurut Spearman general ability atau general factor terdapat pada semua
individu tetapi berbeda satu dengan yang lain. General factor selalu didapati
dalam setiap performance, sedangkan special ability adalah merupakan faktor
yang bersifat khusus, yaitu mengenai bidang-bidang tertentu. Dengan demikian
maka jumlah faktor S itu banyak, misalnya ada S1, S2, S3 dan seterusnya. Jadi
kalau pada seseorang faktor S dalam bidang tertentu dominan, maka orang itu
akan menonjol dalam bidang tersebut. Dapat dikemukakan bahwa menurut Spearman
tiap-tiap performance selalu ada faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan:
P =G + S. Menurut Morgan, dkk. (1984) teori Spearman ini juga disebut teori
faktor G (G-faktor theory).
Burt mempunyai pandangan
yang berbeda, namun dekat dengan pandangan Sperman. Menurut Burt di samping
general ability dan special ability masih terdapat faktor yang lain lagi, yaitu
common ability atau common factor atau juga disebut group factor. Common factor
adalah merupakan faktor sesuatu kelompok kemampuan tertentu, misalnya common
factor dalam hal bahasa, common factor dalam hal matematika. Dengan demikian
menurut pandangan Burt dalam intelegensi ada tiga macam faktor, yaitu (1)
faktor G; (2) faktor S; dan (3) faktor C, dan faktor-faktor ini akan tampak
dalam performance individu. Jadi performance individu dapat digambarkan sebagai
berikut. P= G + S + Cx Cx = misalnya common factor berhitung P= G + S + Cy Cy =
misalnya common factor bahasa
Dengan demikian maka akan didapati bermacam-macam special factor dan juga bermacam-macam common factor sesuai dengan kelompok-kelompok persoalan yang dihadapi, di samping faktor G. Cattel (Morgan, dkk.,1984) berpendapat bahwa ada dua komponen dalam aktivitas intelektual, yaitu (1) fluid intelligence dan (2) crystallized intelligence. Fluid intelligence adalah berkaitan dengan kemampuan yang mencerminkan potensi intelegensi yang independent dari sisialisasi dan pendidikan, sedangkan crystallized intelligence lebih mencerminkan aspek budaya termasuk pendidikan formal, yang dipadu dengan pengetahuan dan keterampilan(skill).
Dengan demikian maka akan didapati bermacam-macam special factor dan juga bermacam-macam common factor sesuai dengan kelompok-kelompok persoalan yang dihadapi, di samping faktor G. Cattel (Morgan, dkk.,1984) berpendapat bahwa ada dua komponen dalam aktivitas intelektual, yaitu (1) fluid intelligence dan (2) crystallized intelligence. Fluid intelligence adalah berkaitan dengan kemampuan yang mencerminkan potensi intelegensi yang independent dari sisialisasi dan pendidikan, sedangkan crystallized intelligence lebih mencerminkan aspek budaya termasuk pendidikan formal, yang dipadu dengan pengetahuan dan keterampilan(skill).
b.
Teori
Orientasi Proses (Process-Oriented Theories)
Teori ini mendasarkan atas
orientasi bagaimana proses intelektual dalam pemecahan masalah. Para ahli lebih
cenderung bicara mengenai proses kognitif (cognitive processes) daripada intelegensi,
tetapi dengan maksud tentang hal yang sama (Morgan, dkk., 1984). Teori proses
informasi mengenai intelegensi (information-processing theories) mengemukakan
bahwa intelegensi akan diukur dari fungsi-fungsi seperti proses sensorik,
koding, ingatan, dan kemampuan mental yang lain termasuk belajar dan
menimbulkan kembali (remembering).
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Intelegensi
Untuk membahas
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi intelegensi, kita selalu ditarik ke
dalam kontroversi Nature vs Nurture atau Bawaan vs Lingkungan. Kita tidak akan
membahas kontroversi ini karena telah banyak hasil penelitian yang menyatakan
bahwa kedua faktor tersebut memberikan sumbangan yang sangat berarti pada
perkembangan inteligensi.
a. Pengaruh Faktor Bawaan
Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau
bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi tinggi (± 0,50). Di
antara kembar korelasi sangat tinggi (± 0,90), sedangkan di antara
individu-individu yang tidak bersanak saudara korelasinya rendah sekali (±
0,20). Bukti lain dari adanya pengaruh bawaan adalah hasil-hasil penelitian
terhadap anak-anak yang diadopsi. IQ mereka ternyata masih biokorelasi tinggi
dengan ayah/ibu yang sesungguhnya (bergerak antara + 0,40 sampai + 0,50).
Sedang korelasi dengan orangtua angkatnya sangat rendah (+ 0,10 sampai + 0,20).
Selanjutnya, studi terhadap kembar yang diasuh secara terpisah juga menunjukkan
bahwa IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa walau
lingkungan berpengaruh terhadap taraf kecerdasan seseorang, tetapi banyak hal
dalam kecerdasan itu yang tetap tak berpengaruh.
b. Pengaruh Faktor Lingkungan
Walau ada cirri-ciri yang
pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup
menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Intelegensi tentunya tidaklah
dapat terlepas dari otak. Dengan kata lain perkembangan organik otak akan
sangat mempengaruhi tingkat intelegensi seseorang. Di pihak lain, perkembangan
otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu, ada
hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang.
Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang
amat penting. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif
emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa inteligensi bisa berkurang karena tidak adanya
bentuk rangsangan tertentu dalam awal-awal kehidupan individu. Skeels dan
Skodak menemukan dalam studi longitudinal mereka bahwa anak-anak yang dididik
dalam lingkungan yang kaku, kurang perhatian, dan kurang dorongan lalu
dipindahkan ke dalam lingkungan yang hangat, penuh perhatian, rasa percaya, dan
dorongan, menunjukkan peningkatan skor yang cukup berarti pada tes kecerdasan.
Selain itu, individu-individu yang hidup bersama dalam keluarga mempunyai korelasi kecerdasan yagn lebih besar dibanding mereka yang dirawat secara terpisah. Zajonc dalam berbagai penelitian menemukan bahwa anak pertama biasanya memiliki taraf kecerdasan yang lebih tinggi dari adik-adiknya. Olehnya ini dijelaskan karena anak pertama untuk jangka waktu yang cukup lama hanya dikelilingi oleh orang-orang dewasa, suatu lingkungan yang memberinya keuntungan intelektual.
Selain itu, individu-individu yang hidup bersama dalam keluarga mempunyai korelasi kecerdasan yagn lebih besar dibanding mereka yang dirawat secara terpisah. Zajonc dalam berbagai penelitian menemukan bahwa anak pertama biasanya memiliki taraf kecerdasan yang lebih tinggi dari adik-adiknya. Olehnya ini dijelaskan karena anak pertama untuk jangka waktu yang cukup lama hanya dikelilingi oleh orang-orang dewasa, suatu lingkungan yang memberinya keuntungan intelektual.
Melihat peranan bawaan dan
lingkungan seperti di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa intelegensi
dipengaruhi oleh:
ü Kualitas intelegensi orangtua serta
kondisi anak pada saat pembentukan dalam kandungan (bawaan).
ü Gizi selama masa-masa pertumbuhan.
ü Rangsangan-rangsangan intelektual yang
memberinya berbagai sumber daya pengalaman (experiential resources) seperti
pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain, khususnya pada
masa-masa peka.
c. Kematangan, menyangkut pertumbuhan
jiwa dan fisik berkembang telah mencapai puncaknya karena dipengaruhi faktor
internal. Dan arus disadari bahwa kematangan berhubungan erat dengan umur.
d. Pembentukan yaitu perkembangan
individu yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dapat kita bedakan
pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan
tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
e. Minat, inilah yang merupakan motor
penggerak dari inteligensi kita. Dalam arti manusia terdapat
dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi,
menggunakan, menyelidik dunia luar. Dari manipulasi dan eksplorasi yang
dilakukan terhadapdunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap
sesuatu.
f. Kebebasan, berarti bahwa manusia itu
dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah.
Manusia mempunyai kebebasan memilih masalah sesuai dengan kebutuhanya. Dengan
adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamaya menjadi syarat
dalam perbuatan intelegensi.
4.
Stabilitas Intelegensi dan IQ
Pertama-tama, kita harus
menyadari bahwa intelegensi bukanlah IQ. Seperti dijelaskan di depan,
intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedangkan
IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi tertentu (yang notabene, hanya
mengukur sebagian kecil dari intelegensi).
Bila kita membahas
stabilitas intelegensi, maka kita merujuk pada konsep yang umum tadi. Di depan
sudah dijelaskan bahwa intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan organic
otak seseorang. Oleh karena itu, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan otak,
maka pada masa-masa pertumbuhan (± sampai usia 20 th) akan terjadi peningkatan
intelegensi. Setelah itu ada suatu masa-masa stabil, kemudian, sejalan dengan
kemunduran organis otak, akan terdapat kecenderungan menurun.
Berbeda dengan intelegensi, stabilitas IQ tidak diukur semata-mata berdasarkan perubahan-perubahan fisik (umur yang sebenarnya), tetapi sudah mengacu pada norma kelompok. Pendekatan seperi ini akan menghasilkan skor IQ yang relative stabil karena kelompok mengalami masa-masa pertumbuhan dan penurunan organis dalam periode yang hampir bersamaan.
Berbeda dengan intelegensi, stabilitas IQ tidak diukur semata-mata berdasarkan perubahan-perubahan fisik (umur yang sebenarnya), tetapi sudah mengacu pada norma kelompok. Pendekatan seperi ini akan menghasilkan skor IQ yang relative stabil karena kelompok mengalami masa-masa pertumbuhan dan penurunan organis dalam periode yang hampir bersamaan.
5.
Pengukuran Intelegensi
Ada bermacam-macam tes
untuk mengukur intelegensi, diantaranya yaitu:
1. Tes Binet Simon yang diperbaiki Bobertag. Tes ini dipergunakan untuk menyelidiki intelegensi anak antara umur 3 s/d 15 tahun.
1. Tes Binet Simon yang diperbaiki Bobertag. Tes ini dipergunakan untuk menyelidiki intelegensi anak antara umur 3 s/d 15 tahun.
a. Untuk anak umur 3 tahun,
pertanyaan-pertanyaan tidak bersangkutan dengan ilmu atau pelajaran sekolah. Pertanyaan-pertanyaan
itu misalnya:
§ menyebut nama-nama keluarganya,
§ menyebut nama-nama barang, dalam
gambar,
§ menyebutkan kembali bilangan dari 2
angka dan sebagainya.
b. Untuk anak yang sudah berumur 5 tahun
ke atas, sudah diberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
pelajarannya.
Dengan tes macam b, ini diketahui umur kecerdasaan seorang anak.
Misalnya, yang di tes anak umur 7 tahun; kepada anak ini mula-mula diberikan pertanyaan-pertanyaan untuk anak yang berumur 7 tahun. Kalau tidak semuanya benar, maka kepadanya diberikan pertanyaan-pertanyaan yang untuk anak yang baru berumur 6 tahun. Demikan seterusnya sampai semua pertanyaan dapat dijawab oleh anak yang berumur 7 tahun itu. Sesudah sesuatu daftar pertanyaan dapat dijawab olehnya dan benar semua, berturut-turut diberikan pertanyaan untuk anak yang berumur selanjutnya, dan terus demikian sehingga sampai kepada daftar pertanyaan yang olehnya satupun tidak ada yang benar. Dari hasilnya itu dapatlah kita menentukan umur kecerdasan anak itu.
Dengan tes macam b, ini diketahui umur kecerdasaan seorang anak.
Misalnya, yang di tes anak umur 7 tahun; kepada anak ini mula-mula diberikan pertanyaan-pertanyaan untuk anak yang berumur 7 tahun. Kalau tidak semuanya benar, maka kepadanya diberikan pertanyaan-pertanyaan yang untuk anak yang baru berumur 6 tahun. Demikan seterusnya sampai semua pertanyaan dapat dijawab oleh anak yang berumur 7 tahun itu. Sesudah sesuatu daftar pertanyaan dapat dijawab olehnya dan benar semua, berturut-turut diberikan pertanyaan untuk anak yang berumur selanjutnya, dan terus demikian sehingga sampai kepada daftar pertanyaan yang olehnya satupun tidak ada yang benar. Dari hasilnya itu dapatlah kita menentukan umur kecerdasan anak itu.
2. Brightness test. Tes ini buatan
Masselon. Yang disebut juga three words test. Yaitu kepada anak yang ditest,
diberikan 3 kata, yang kemudian anak itu disuruhnya membuat kalimat-kalimat
logis sebanyak-banyaknya dengan 3 kata tersebut.
3. Stenquist test. Anak disuruh
mengamati sesuatu benda sebaik-baiknya. Sesudah itu, benda itu dirusak. Anak
itu harus menyusun kembali, sehingga sisa-sisa benda itu berbentuk benda
seperti semula.
4. Medaillon test. Anak disuruh
menyelesaikan gambar yang baru sebagian atau belum selesai.
5. Educational (schollastik) mental
test. Yaitu test yang biasanya diberikan di sekolah-sekolah. Misalnya: ulangan,
dikte, ujian, dan sebagainya.
6. Perkembangan Inteligensi pada Anak
Perkembangan intelegensi
anak menurut Piaget mengandung tiga aspek yaitu structure, content, dan function. Jadi, intelegensi anak yang sedang
mengalami perkembangan, struktur (structure) dan content intelegensinya berubah atau
berkembang. Di mana fungsi dan adaptasi akan tersusun sedemikian rupa, sehingga
melahirkan rangkaian perkembangan, dan masing-masing mempunyai struktur
psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak. Adapun tahap-tahap
perkembangan menurut Piaget ialah kematangan, pengalaman fisik atau lingkungan,
transmisi sosial, dan equilibrium atau self regulation. Selanjutnya Piaget membagi tingkat
perkembangan sebagai tahap: sensori motor, berpikir pra operasional, berpikir
operasional konkret, dan berpikir operasional formal.
1. Tahap
sensori-motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini, bayi
mempergunakan sistem penginderaan dan aktivitas-aktivitas motorik untuk
mengenal lingkungannya mengenal objek-objek. Meskipun ketika dilahirkan seorang
bayi masih sangat tergantung dan tidak berdaya, tetapi sebagian alat-alat
inderanya sudah langsung bisa berfungsi. Contoh yang jelas dapat dilihat pada
“kemampuan” bayi untuk menggerakkan otot-otot disekitar mulut, gerakan
mengenyot bilamana mulut tersentuh pada sesuatu, misalnya putting susu ibunya.
Bayi bukan saja secara pasif menerima rangsang-rangsangan terhadap alat-alat
inderanya, melainkan juga bisa memberikan jawaban terhadap rangsang yakni
refleks-refleks. Jelas bahwa refleks yang diperlihatkan bayi bukan sesuatu
kemampuan yang timbul dari hasil belajar dalam hubungan dengan lingkungan atau
rangsang yang timbul dari lingkungan, melainkan suatu kemampuan yang sudah ada
ketika bayi dilahirkan. Dalam perkembangan lebih lanjut, sebagaimana
dikemukakan oleh I.P. Pavlov yang menjadi pendahulu refleksologi, satu refleks
bisa berpindah dan dikembangkan dengan reflek-reflek lain melalui
kondisi-kondisi yang dibuat dari luar (lingkungan) sebagai inti dasar rangkaian
gerak atau perbuatan yang sederhana, terutama pada gerak motorik.
Masa sensori motor terbagi
menjadi 6 sub masa, yaitu:
v Modifikasi dari refleks-refleks (0-1
bulan): Pada masa ini refleks menjadi lebih efisien dan terarah.
v Reaksi pengulangan pertama (1-4 bulan):
Yaitu pengulangan gerak-gerik yang menarik pada tubuhnya.
v Reaksi pengulangan kedua (4-10 bulan):
Yaitu pengulangan keadaan atau obyek yang menarik.
v Koordinasi reaksi-reaksi sekunder
(10-12 bulan): Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
v Reaksi pengulangan ketiga (12-18
bulan): Yaitu bermacam-macam pengulangan untuk memperoleh hal-hal yang baru.
v Permulaan berpikir (18-24 bulan): Yaitu
berpikir dahulu sebelum bertindak.
2. Tahap berpikir
praoperasional (2-7 tahun)
Perkembangan yang jelas
terlihat pada tahap ini ialah kemampuan mempergunakan simbol. Fungsi simbolik,
yakni kemampuan untuk mewakilkan sesuatu yang tidak ada, tidak terlihat dengan
sesuatu yang lain atau sebaliknya sesuatu hal mewakili sesuatu yang tidak ada.
Fungsi simbolik ini bisa nyata atau abstrak. Misalnya pisau yang terbuat dari
plastik adalah sesuatu yang nyata, mewakili pisau yang sesungguhnya. Dengan
berkembangnya kemampuan mensimbolisasikan ini, anak memperluas ruang lingkup
aktivitasnya yang menyangkut hal-hal yang sudah lewat, atau hal-hal yang akan
datang, di samping tentu saja hal-hal yang sekarang. Pada akhir masa sensori
motor, anak sudah mulai mempergunakan fungsi simbolik, antara lain terlihat
dengan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang sudah lewat, sebagai hasil
mengamati sesuatu.
Pada masa praoperasional
ini, anak bisa menemukan obyek-obyek yang tertutup atau tersembunyi. Untuk bisa
melakukan ini, anak harus bisa melakukan simbolisasi terhadap obyek yang tidak
ada atau tidak diketahuinya ketika terjadi pemindahan obyek. Anak juga bisa
melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati suatu model tingkah laku.
Perkembangan kemampuan mensimbolisasikan sesuatu ini terlihat pula pada
permainan yang dilakukan anak-anak, misalnya kursi yang dijadikan kereta api,
pensil yang dianggap pistol, dan lain-lain.
3. Tahap berpikir
operasional konkret (7-11 tahun)
Pada masa ini anak-anak
sudah mulai bisa melakukan bermacam-macam tugas. Menurut Piaget, anak-anak pada
masa operasional konkret ini bisa melakukan tugas-tugas konservasi dengan baik,
karena anak-anak pada masa ini telah mengembangkan tiga macam proses yang
disebut dengan operasi-operasi, yaitu:
a. Negasi
Pada masa praoperasional
anak hanya melihat atau memperhatikan keadaan permulaan dan keadaan akhir pada
deretan benda yaitu pada mulanya keadaannya sama dan pada akhirnya keadaanya
menjadi tidak sama. pada masa operasional konkret anak telah mengerti proses
apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara
keduanya.
b. Hubungan
timbal balik (resiprokasi)
Ketika anak melihat
bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan
benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat lagi dibandingkan dengan
deretan yang lain. Karena anak mengetahui hubungan timbal balik antara panjang
dan kurang rapat atau sebaliknya, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda
yang ada pada kedua deretan itu sama.
c. Identitas
Anak pada masa operasional
konkret ini sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada
deretan-deretan itu. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda
dipindahkan, anak mengetahui bahwa jumlah tetap sama.
Hal lain yang masih
membatasi kemampuan berpikir konkrit ialah apa yang oleh D. Elkind (1967)
disebut egosentrisme. Egosintrisme dalam arti kurang mempunyai si anak
membedakan antara perbuatan-perbuatan serta obyek-obyek yang secara langsung
dialami dengan perbuatan-perbuatan atau obyek-obyek yang hanya ada dalam
pikiran anak.
4. Tahap berpikir
operasional formal (11-15 tahun)
Pada tahap ini, seorang
anak memperkembangkan kemampuan kognitif untuk berpikir abstrak dan hipotesis.
Pada masa ini anak bisa memikirkan hal-hal apa yang akan atau mungkin terjadi,
sesuatu yang abstrak dan menduga apa yang akan terjadi. Perkembangan lain pada
masa anak atau bisa disebut masa remaja ini ialah kemampuan untuk berpikir
sistematik, bisa memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk
memecahkan suatu persoalan. Pada masa ini remaja juga sudah bisa memahami
adanya bermacam-macam aspek pada suatu persoalan yang dapat diselesaikan
seketika, sekaligus. Tidak lagi satu persatu seperti yang biasa dilakukan
anak-anak pada masa operasional konkrit.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkataan intelegensi dari kata latin
“intelligere” yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan
satu dengan yang lain (to organize, to relate, to bind together). Istilah intelegensi
kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang
memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal,
padahal menurut para ahli intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan.
Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam
arti bagi para ahli.
B. Saran
Bagi pembaca
diharapkan memberikan saran dan kritikan yang membangun untuk kesempurnaan
studi kasus yang saya buat serta untuk perbaikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta: 2004 cetakan ke 12
Walgito Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset,
Yogyakarta: 2010
Suryabrata Sumadi, Psikologi Kepribadian, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta: 1966
STUDI KASUS
Perkembangan Inteligensia Pada Kognitif Anak
Tugas Mandiri Diajukan Untuk Memenuhi
Sebagian
Tugas Matakuliah Psikologi Belajar
Disusun Oleh :
Nama : Rita
Susanti
NIMKO : 1209.12.06641
Program : Strata Satu (S-1)
Program
Studi : PAI
Semester
/ Lokal : II
(dua) / C
Dosen Pengampu : Hermanto, S. Psi
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2013
MOTTO
Barang siapa bersungguh-sungguh
Pasti ada hasil.
|
PERSEMBAHAN
Studi kasus ini saya persembahkan untuk memenuhi tugas matakuliah Psikologi
Belajar.
Juga untuk kedua orang tua yang sudah mendukung dalam pembuatan karya tulis
ini.
Ibu yang selalu membimbing saya dalam pembuatan studi kasus ini dan ayah
yang memberi material sehingga studi kasus ini dapat saya selesaikan.
Tidak lupa studi kasus ini saya persembahkan kepada orangtua responden yang
bersedia dimintai keterangan.
Kemudian studi kasus ini saya persembahkan untuk masyarakat agar dapat
memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Dan yang terakhir untuk semua teman-teman PAI II C tercinta J
|
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah swt.
Dengan pertolongan dan hidayah-Nya lah, studi kasus ini dapat diselesaikan.
Studi kasus ini saya buat dengan tujuan agar dapat dimanfaatkan dalam proses
belajar. Dan saya berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan
masukannya yang positif serta saran untuk kesempurnaan studi kasus ini.
Merupakan suatu harapan pula, semoga
studi kasus ini tercatat sebagai amal saleh dan menjadi motivator bagi penulis
untuk membuat karya lain yang lebih baik dan bermanfaat. Amin.
Tembilahan, Maret 2013
Penulis
Rita
Susanti
|
DAFTAR ISI
Motto ....................................................................................................................................... i
Persembahan ......................................................................................................................... ii
Kata
Pengantar ....................................................................................................................... iii
Daftar Isi .................................................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
- Latar Belakang............................................................................................................. 1
- Tujuan dan Manfaat..................................................................................................... 1
BAB II IDENTITAS RESPONDEN........................................................................................ 2
- Data Responden.......................................................................................................... 2
- Data Orangtua Responden.......................................................................................... 2
- Observasi yang dilakukan............................................................................................ 2
BAB
III PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
- Keadaan Anak
1.
Fisik
Anak............................................................................................................... 4
2.
Mental
Anak........................................................................................................... 4
3.
Kelemahan
Anak.................................................................................................... 4
4.
Kelebihan
Anak...................................................................................................... 4
B.
Permasalahan
Anak..................................................................................................... 4
1.
Terhadap
diri sendiri............................................................................................... 4
2.
Orangtua................................................................................................................ 5
3.
Lingkungan
............................................................................................................ 5
4.
Sekolah.................................................................................................................. 5
BAB
IV DASAR TEORITIS ................................................................................................... 6
BAB
V PENUTUP
- Kesimpulan................................................................................................................... 21
- Saran............................................................................................................................ 21
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
-
Keterangan Ijin Penelitian
-
Keterangan Telah Melakukan Penelitian
-
Identitas Penulis (mahasiswa ybs)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar