Sabtu, 14 Desember 2013

stusi kasus -perkembangan intelegensia pada kognitif anak-



STUDI KASUS
Perkembangan Inteligensia Pada Kognitif Anak
Tugas Mandiri Diajukan Untuk Memenuhi
Sebagian Tugas Matakuliah Psikologi Belajar





Disusun Oleh :
Nama                          : Rita Susanti
NIMKO                        : 1209.12.06641
Program                      : Strata Satu (S-1)
Program Studi             : PAI
Semester / Lokal         : II (dua) / C
Dosen Pengampu       : Hermanto, S. Psi


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN

2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Berbicara mengenai intelegensi biasanya memang dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan masalah, kemampuan untuk belajar, ataupun kemampuan untuk berpikir abstrak. Perkataan intelegensi dari kata latin “intelligere” yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to organize, to relate, to bind together). Istilah intelegensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Sulit untuk membuat suatu defenisi yang memuaskan mengenai intelegensi.

B.   Tujuan dan Manfaat
Tujuan saya membuat karya tulis ini agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum khususnya mahasiswa dalam proses perkuliahan.


BAB II

IDENTITAS RESPONDEN (anak yang diteliti)


A.   DATA RESPONDEN
a.    Nama                                     : Vera Mutiara Ramadani
b.    Tempat Lahir            : Tembilahan
c.    Tanggal Lahir           : 10 November 2003
d.    Kelas                          : III (Tiga)
e.    Tempat Sekolah       : SDN 008 Tembilahan Hulu
f.     Alamat Rumah         : Jl. Sederhana Gg. Kacang
g.    Hobby                        : Membaca

B.   DATA ORANGTUA RESPONDEN
Ayah :
a.    Nama                                     : Ilmi
b.    Tempat Lahir            : Lintau
c.    Tanggal Lahir           : 15 Juli 1959
d.    Pendidikan Terakhir : SLTA
e.    Alamat Rumah         : Jl. Sederhana Gg. Kacang
Ibu :
a.      Nama                                     : Tuti Herawati
b.      Tempat Lahir            : Tembilahan
c.      Tanggal Lahir           : 14 Juli 1977
d.      Pendidikan Terakhir: SD
e.      Alamat  Rumah        : Jl. Sederhana Gg. Kacang

C.   OBSERVASI YANG DILAKUKAN
1.    Observasi Pertama
      Hari                 : Selasa
Tanggal         : 19 Maret 2013
Pukul                         : 17.15 wib
Tempat           : Rumah Responden
2.    Observasi Kedua
Hari                 : Jum’at
Tanggal         : 22 Maret 2013
Pukul                         : 08.47 wib
Tempat           : Rumah Responden
3.    Observasi Ketiga
Hari                 : Rabu
Tanggal         : 27 Maret 2013
Pukul                         : 16.27 wib
Tempat           : Rumah Responden























BAB III 
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

  1. Keadaan Anak

1.    Fisik Anak
Keadaan fisik sangat mempengaruhi proses belajar. Menurut studi kasus yang saya lakukan kondisi fisik responden tidak mengalami kecacatan apapun, hanya saja responden mengalami strabismus. Selain itu, responden juga gmpang mengalami sakit apabila kelelahan dalam beraktivitas.
2.    Mental Anak
Selain keadaan fisik, keadaan mental juga sangat berpengaruh terhadap proses belajar. Dari studi kasus yang saya lakukan, responden tidak ada mengalami kelainan mental. Responden sama seperti anak-anak normal pada umumnya.
3.    Kelemahan Anak
Anak yang saya teliti mempunyai kelemahan dalam mata pelajaran bahasa inggris, mungkin karena mata pelajaran itu merupakan mata pelajaran dengan bahsa asing sehingga sulit untuk dipahami.
4.    Kelebihan Anak
Dari hasil studi kasus yang saya lakukan, anak ini inteligensinya sangat tinggi, terbukti dari hasil raportnya yang selalu mendapat peringkat 3 besar di kelas. Selain itu, anak yang saya teliti ini juga rajin dalam hal membantu orang tua. Serta ia rajin untuk mengaji sehabis pulang sekolah.

  1. Permasalahan Anak

    1. Terhadap diri sendiri
Inteligensi anak sangat berpengaruh pada hasil belajarnya, dari hasil studi kasus yang saya lakukan anak ini mempunyai inteligensi yang sangat tinggi, permaslahan yang biasanya ia hadapi yaitu lebih cenderung ke egonya yang sangat tinggi.
    1. Orangtua
Orangtua sangat memengaruhi kegiatan belajar. Sifat orangtua dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Orangtua yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik. Dari studi kasus yang saya lakukan orangtua responden sangat memanjakan anaknya, tetapi untungnya hal itu berdampak positif bagi si anak, terbukti dengan hasil raportnya yang selalu menapat peringkat 3 besar di sekolah tempat ia menuntut ilmu. Selain itu, apabila si anak mendapat peringkat maka orangtuanya akan memberikan hadiah sebagai apresiasi atas keberhasilan anak tersebut, sehingga responden akan semangat dalam belajar.

    1. Lingkungan
Kondisi lingkungan masya­rakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengang­guran dan anak telantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memer­lukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilikinya. Untung saja responden yang saya teliti hidup di lingkungan yang pergaulannya dapat dijadikan sebagai wadah belajar bersama teman-teman sebayanya. Pernah saya melihat, banyak anak-anak di daerah tempat tinggalnya tengah bermain sambil belajar mengenai pelajaran yang diajarkan di sekolah. Sehingga responden tidak hanya belajar di sekolah tapi  juga dapat belajar di lingkungan masyarakat tempat ia tinggal.

    1. Sekolah
.  Lingkungan sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan yang harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimili­ki oleh anaknya atau peserta didiknya, antara lain dengan mendukung dan ikut mengembangkannya. Berdasarkan studi kasus yang saya lakukan, responden ingin pindah sekolah gara-gara dijahili oleh teman sekelasnya sampai sepeda responden yang baru beli rusak, serta tak jarang responden diusili oleh teman sekelasnya itu.

BAB IV
 DASAR TEORITIS

A.   Teori kognitif

1.            Pengertian Teori Kognitif

Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.

2.            Karakteristik Teori Kognitif

Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.

3.            Tokoh Teori Belajar Kognitif

·         Jean Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”

Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.

B.    Intelegensi
1.    Definisi intelegensi
Berbicara mengenai intelegensi biasanya memang dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan masalah, kemampuan untuk belajar, ataupun kemampuan untuk berpikir abstrak. Perkataan intelegensi dari kata latin “intelligere” yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to organize, to relate, to bind together). Istilah intelegensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Sulit untuk membuat suatu defenisi yang memuaskan mengenai intelegensi.
 Kita akan melihat beberapa batasan yang diberikan oleh para ahli lalu kita berusaha merangkum dan menguraikan ciri-cirinya. Menurut panitia istilah Padagogik (1953) yang mengangkat pendapat Stern yang dimaksud intelegensi adalah “daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya”.
Menurut V. Hees, intelegensi ialah “sifat kecerdasan jiwa”. K. Buhler, mengatakan bahwa intelegensi adalah “Perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian”. David Wechsler, seorang ahli di bidang ini memberikan definisi mengenai intelegensi mula-mula sebagai “kapasitas untuk mengerti lingkungan dan kemampuan akal-budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya”. Pada kesempatan lain ia mengatakan bahwa intelegensi adalah “kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan-lingkungannya secara efektif”.
Dari definisi-definisi yang disajikan di atas, kita menarik beberapa kesimpulan yang akan menjelaskan ciri-ciri intelegensi:
o   Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
o   Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah (lihat no. 1) pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan pemecahan masalah yang timbul dari padanya.
Menurut arah dan hasilnya, intelegensi ada dua macam, yaitu:
*      Intelegensi praktis. Ialah intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit dalam sesuatu kerja, yang berlangsung secara cepat dan tepat.
*      Intelegensi teoritis. Ialah intelegensi untuk dapat mendapatkan suatu fikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat.




2.    Teori Intelegensi
Teori-teori tentang intelegensi memang cukup bervariasi, di bawah ini akan dipaparkan beberapa teori dari para ahli. Menurut Morgan, dkk. (1984) ada dua pendekatan yang pokok dalam memberikan definisi mengenai intelegensi itu, yaitu (1) pendekatan yang melihat faktor-faktor yang membentuk intelegensi itu, yang sering disebut sebagai pendekatan faktor atau teori faktor, dan (2) pendekatan yang melihat sifat proses intelektual itu sendiri, yang sering dipandang sebagai teori orientasi-proses (process-oriented theories).
a.    Teori-teori Faktor
Di depan telah dipaparkan mengenai bermacam-macam pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan intelegensi itu dari beberapa orang ahli. Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa dalam intelegensi itu didapati adanya faktor-faktor tertentu yang membentuk intelegensi, inilah makna dari teori faktor. Mengenai faktor-faktor apa yang terdapat dalam intelegensi, diantara para ahli belum terdapat pendapat yang bulat.
Seperti dikemukakan oleh Thorndike dengan teori multi faktornya, yaitu bahwa intelegensi tersusun dari beberapa faktor, dan faktor-faktor itu terdiri dari elemen-elemen, dan tiap-tiap elemen terdiri dari atom-atom, dan tiap-tiap atom merupakan hubungan stimulus-respons. Jadi suatu aktivitas yang menyangkut intelegensi adalah merupakan kumpulan dari atom-atom aktivitas yang berkombinasi satu dengan yang lainnya.
Menurut Spearman intelegensi itu mengandung dua macam faktor, yaitu general ability atau general factor (faktor G), dan special ability atau special factor (faktor S). Karena itu teori Spearman dikenal sebagai teori dwi-faktor atau two-factor theory. Menurut Spearman general ability atau general factor terdapat pada semua individu tetapi berbeda satu dengan yang lain. General factor selalu didapati dalam setiap performance, sedangkan special ability adalah merupakan faktor yang bersifat khusus, yaitu mengenai bidang-bidang tertentu. Dengan demikian maka jumlah faktor S itu banyak, misalnya ada S1, S2, S3 dan seterusnya. Jadi kalau pada seseorang faktor S dalam bidang tertentu dominan, maka orang itu akan menonjol dalam bidang tersebut. Dapat dikemukakan bahwa menurut Spearman tiap-tiap performance selalu ada faktor G dan faktor S, atau dapat dirumuskan: P =G + S. Menurut Morgan, dkk. (1984) teori Spearman ini juga disebut teori faktor G (G-faktor theory).
Burt mempunyai pandangan yang berbeda, namun dekat dengan pandangan Sperman. Menurut Burt di samping general ability dan special ability masih terdapat faktor yang lain lagi, yaitu common ability atau common factor atau juga disebut group factor. Common factor adalah merupakan faktor sesuatu kelompok kemampuan tertentu, misalnya common factor dalam hal bahasa, common factor dalam hal matematika. Dengan demikian menurut pandangan Burt dalam intelegensi ada tiga macam faktor, yaitu (1) faktor G; (2) faktor S; dan (3) faktor C, dan faktor-faktor ini akan tampak dalam performance individu. Jadi performance individu dapat digambarkan sebagai berikut. P= G + S + Cx Cx = misalnya common factor berhitung P= G + S + Cy Cy = misalnya common factor bahasa
Dengan demikian maka akan didapati bermacam-macam special factor dan juga bermacam-macam common factor sesuai dengan kelompok-kelompok persoalan yang dihadapi, di samping faktor G. Cattel (Morgan, dkk.,1984) berpendapat bahwa ada dua komponen dalam aktivitas intelektual, yaitu (1) fluid intelligence dan (2) crystallized intelligence. Fluid intelligence adalah berkaitan dengan kemampuan yang mencerminkan potensi intelegensi yang independent dari sisialisasi dan pendidikan, sedangkan crystallized intelligence lebih mencerminkan aspek budaya termasuk pendidikan formal, yang dipadu dengan pengetahuan dan keterampilan(skill).



b.    Teori Orientasi Proses (Process-Oriented Theories)
Teori ini mendasarkan atas orientasi bagaimana proses intelektual dalam pemecahan masalah. Para ahli lebih cenderung bicara mengenai proses kognitif (cognitive processes) daripada intelegensi, tetapi dengan maksud tentang hal yang sama (Morgan, dkk., 1984). Teori proses informasi mengenai intelegensi (information-processing theories) mengemukakan bahwa intelegensi akan diukur dari fungsi-fungsi seperti proses sensorik, koding, ingatan, dan kemampuan mental yang lain termasuk belajar dan menimbulkan kembali (remembering).

3.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
Untuk membahas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi intelegensi, kita selalu ditarik ke dalam kontroversi Nature vs Nurture atau Bawaan vs Lingkungan. Kita tidak akan membahas kontroversi ini karena telah banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa kedua faktor tersebut memberikan sumbangan yang sangat berarti pada perkembangan inteligensi.
a.    Pengaruh Faktor Bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkorelasi tinggi (± 0,50). Di antara kembar korelasi sangat tinggi (± 0,90), sedangkan di antara individu-individu yang tidak bersanak saudara korelasinya rendah sekali (± 0,20). Bukti lain dari adanya pengaruh bawaan adalah hasil-hasil penelitian terhadap anak-anak yang diadopsi. IQ mereka ternyata masih biokorelasi tinggi dengan ayah/ibu yang sesungguhnya (bergerak antara + 0,40 sampai + 0,50). Sedang korelasi dengan orangtua angkatnya sangat rendah (+ 0,10 sampai + 0,20). Selanjutnya, studi terhadap kembar yang diasuh secara terpisah juga menunjukkan bahwa IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi. Ini menunjukkan bahwa walau lingkungan berpengaruh terhadap taraf kecerdasan seseorang, tetapi banyak hal dalam kecerdasan itu yang tetap tak berpengaruh.
b.    Pengaruh Faktor Lingkungan
Walau ada cirri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, tetapi ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Intelegensi tentunya tidaklah dapat terlepas dari otak. Dengan kata lain perkembangan organik otak akan sangat mempengaruhi tingkat intelegensi seseorang. Di pihak lain, perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu, ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa inteligensi bisa berkurang karena tidak adanya bentuk rangsangan tertentu dalam awal-awal kehidupan individu. Skeels dan Skodak menemukan dalam studi longitudinal mereka bahwa anak-anak yang dididik dalam lingkungan yang kaku, kurang perhatian, dan kurang dorongan lalu dipindahkan ke dalam lingkungan yang hangat, penuh perhatian, rasa percaya, dan dorongan, menunjukkan peningkatan skor yang cukup berarti pada tes kecerdasan.
Selain itu, individu-individu yang hidup bersama dalam keluarga mempunyai korelasi kecerdasan yagn lebih besar dibanding mereka yang dirawat secara terpisah. Zajonc dalam berbagai penelitian menemukan bahwa anak pertama biasanya memiliki taraf kecerdasan yang lebih tinggi dari adik-adiknya. Olehnya ini dijelaskan karena anak pertama untuk jangka waktu yang cukup lama hanya dikelilingi oleh orang-orang dewasa, suatu lingkungan yang memberinya keuntungan intelektual.
Melihat peranan bawaan dan lingkungan seperti di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa intelegensi dipengaruhi oleh:
ü  Kualitas intelegensi orangtua serta kondisi anak pada saat pembentukan dalam kandungan (bawaan).
ü  Gizi selama masa-masa pertumbuhan.
ü  Rangsangan-rangsangan intelektual yang memberinya berbagai sumber daya pengalaman (experiential resources) seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain, khususnya pada masa-masa peka.
c.    Kematangan, menyangkut pertumbuhan jiwa dan fisik berkembang telah mencapai puncaknya karena dipengaruhi faktor internal. Dan arus disadari bahwa kematangan berhubungan erat dengan umur.

d.    Pembentukan yaitu perkembangan individu yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan di sekolah-sekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).

e.    Minat, inilah yang merupakan motor penggerak  dari inteligensi kita. Dalam arti manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi, menggunakan, menyelidik dunia luar. Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadapdunia luar itu, lama kelamaan timbullah minat terhadap sesuatu.

f.     Kebebasan, berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih masalah sesuai dengan kebutuhanya. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamaya menjadi syarat dalam perbuatan intelegensi.

4.    Stabilitas Intelegensi dan IQ
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa intelegensi bukanlah IQ. Seperti dijelaskan di depan, intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedangkan IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi tertentu (yang notabene, hanya mengukur sebagian kecil dari intelegensi).
Bila kita membahas stabilitas intelegensi, maka kita merujuk pada konsep yang umum tadi. Di depan sudah dijelaskan bahwa intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan organic otak seseorang. Oleh karena itu, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan otak, maka pada masa-masa pertumbuhan (± sampai usia 20 th) akan terjadi peningkatan intelegensi. Setelah itu ada suatu masa-masa stabil, kemudian, sejalan dengan kemunduran organis otak, akan terdapat kecenderungan menurun.
Berbeda dengan intelegensi, stabilitas IQ tidak diukur semata-mata berdasarkan perubahan-perubahan fisik (umur yang sebenarnya), tetapi sudah mengacu pada norma kelompok. Pendekatan seperi ini akan menghasilkan skor IQ yang relative stabil karena kelompok mengalami masa-masa pertumbuhan dan penurunan organis dalam periode yang hampir bersamaan.
5.    Pengukuran Intelegensi
Ada bermacam-macam tes untuk mengukur intelegensi, diantaranya yaitu:
1. Tes Binet Simon yang diperbaiki Bobertag. Tes ini dipergunakan untuk menyelidiki intelegensi anak antara umur 3 s/d 15 tahun.
a.    Untuk anak umur 3 tahun, pertanyaan-pertanyaan tidak bersangkutan dengan ilmu atau pelajaran sekolah. Pertanyaan-pertanyaan itu misalnya:
§  menyebut nama-nama keluarganya,
§  menyebut nama-nama barang, dalam gambar,
§  menyebutkan kembali bilangan dari 2 angka dan sebagainya.
b.    Untuk anak yang sudah berumur 5 tahun ke atas, sudah diberikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pelajarannya.
Dengan tes macam b, ini diketahui umur kecerdasaan seorang anak.
Misalnya, yang di tes anak umur 7 tahun; kepada anak ini mula-mula diberikan pertanyaan-pertanyaan untuk anak yang berumur 7 tahun. Kalau tidak semuanya benar, maka kepadanya diberikan pertanyaan-pertanyaan yang untuk anak yang baru berumur 6 tahun. Demikan seterusnya sampai semua pertanyaan dapat dijawab oleh anak yang berumur 7 tahun itu. Sesudah sesuatu daftar pertanyaan dapat dijawab olehnya dan benar semua, berturut-turut diberikan pertanyaan untuk anak yang berumur selanjutnya, dan terus demikian sehingga sampai kepada daftar pertanyaan yang olehnya satupun tidak ada yang benar. Dari hasilnya itu dapatlah kita menentukan umur kecerdasan anak itu.
2. Brightness test. Tes ini buatan Masselon. Yang disebut juga three words test. Yaitu kepada anak yang ditest, diberikan 3 kata, yang kemudian anak itu disuruhnya membuat kalimat-kalimat logis sebanyak-banyaknya dengan 3 kata tersebut.
3. Stenquist test. Anak disuruh mengamati sesuatu benda sebaik-baiknya. Sesudah itu, benda itu dirusak. Anak itu harus menyusun kembali, sehingga sisa-sisa benda itu berbentuk benda seperti semula.
4. Medaillon test. Anak disuruh menyelesaikan gambar yang baru sebagian atau belum selesai.
5. Educational (schollastik) mental test. Yaitu test yang biasanya diberikan di sekolah-sekolah. Misalnya: ulangan, dikte, ujian, dan sebagainya.
6.   Perkembangan Inteligensi pada Anak
Perkembangan intelegensi anak menurut Piaget mengandung tiga aspek yaitu structure, content, dan function. Jadi, intelegensi anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur (structure) dan content intelegensinya berubah atau berkembang. Di mana fungsi dan adaptasi akan tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian perkembangan, dan masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak. Adapun tahap-tahap perkembangan menurut Piaget ialah kematangan, pengalaman fisik atau lingkungan, transmisi sosial, dan equilibrium atau self regulation. Selanjutnya Piaget membagi tingkat perkembangan sebagai tahap: sensori motor, berpikir pra operasional, berpikir operasional konkret, dan berpikir operasional formal.
1.  Tahap sensori-motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini, bayi mempergunakan sistem penginderaan dan aktivitas-aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya mengenal objek-objek. Meskipun ketika dilahirkan seorang bayi masih sangat tergantung dan tidak berdaya, tetapi sebagian alat-alat inderanya sudah langsung bisa berfungsi. Contoh yang jelas dapat dilihat pada “kemampuan” bayi untuk menggerakkan otot-otot disekitar mulut, gerakan mengenyot bilamana mulut tersentuh pada sesuatu, misalnya putting susu ibunya. Bayi bukan saja secara pasif menerima rangsang-rangsangan terhadap alat-alat inderanya, melainkan juga bisa memberikan jawaban terhadap rangsang yakni refleks-refleks. Jelas bahwa refleks yang diperlihatkan bayi bukan sesuatu kemampuan yang timbul dari hasil belajar dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang yang timbul dari lingkungan, melainkan suatu kemampuan yang sudah ada ketika bayi dilahirkan. Dalam perkembangan lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan oleh I.P. Pavlov yang menjadi pendahulu refleksologi, satu refleks bisa berpindah dan dikembangkan dengan reflek-reflek lain melalui kondisi-kondisi yang dibuat dari luar (lingkungan) sebagai inti dasar rangkaian gerak atau perbuatan yang sederhana, terutama pada gerak motorik.
Masa sensori motor terbagi menjadi 6 sub masa, yaitu:
v  Modifikasi dari refleks-refleks (0-1 bulan): Pada masa ini refleks menjadi lebih efisien dan terarah.
v  Reaksi pengulangan pertama (1-4 bulan): Yaitu pengulangan gerak-gerik yang menarik pada tubuhnya.
v  Reaksi pengulangan kedua (4-10 bulan): Yaitu pengulangan keadaan atau obyek yang menarik.
v  Koordinasi reaksi-reaksi sekunder (10-12 bulan): Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
v  Reaksi pengulangan ketiga (12-18 bulan): Yaitu bermacam-macam pengulangan untuk memperoleh hal-hal yang baru.
v  Permulaan berpikir (18-24 bulan): Yaitu berpikir dahulu sebelum bertindak.
2.  Tahap berpikir praoperasional (2-7 tahun)
Perkembangan yang jelas terlihat pada tahap ini ialah kemampuan mempergunakan simbol. Fungsi simbolik, yakni kemampuan untuk mewakilkan sesuatu yang tidak ada, tidak terlihat dengan sesuatu yang lain atau sebaliknya sesuatu hal mewakili sesuatu yang tidak ada. Fungsi simbolik ini bisa nyata atau abstrak. Misalnya pisau yang terbuat dari plastik adalah sesuatu yang nyata, mewakili pisau yang sesungguhnya. Dengan berkembangnya kemampuan mensimbolisasikan ini, anak memperluas ruang lingkup aktivitasnya yang menyangkut hal-hal yang sudah lewat, atau hal-hal yang akan datang, di samping tentu saja hal-hal yang sekarang. Pada akhir masa sensori motor, anak sudah mulai mempergunakan fungsi simbolik, antara lain terlihat dengan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang sudah lewat, sebagai hasil mengamati sesuatu.
Pada masa praoperasional ini, anak bisa menemukan obyek-obyek yang tertutup atau tersembunyi. Untuk bisa melakukan ini, anak harus bisa melakukan simbolisasi terhadap obyek yang tidak ada atau tidak diketahuinya ketika terjadi pemindahan obyek. Anak juga bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati suatu model tingkah laku. Perkembangan kemampuan mensimbolisasikan sesuatu ini terlihat pula pada permainan yang dilakukan anak-anak, misalnya kursi yang dijadikan kereta api, pensil yang dianggap pistol, dan lain-lain.
3.  Tahap berpikir operasional konkret (7-11 tahun)
Pada masa ini anak-anak sudah mulai bisa melakukan bermacam-macam tugas. Menurut Piaget, anak-anak pada masa operasional konkret ini bisa melakukan tugas-tugas konservasi dengan baik, karena anak-anak pada masa ini telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi, yaitu:
a.   Negasi
Pada masa praoperasional anak hanya melihat atau memperhatikan keadaan permulaan dan keadaan akhir pada deretan benda yaitu pada mulanya keadaannya sama dan pada akhirnya keadaanya menjadi tidak sama. pada masa operasional konkret anak telah mengerti proses apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
b.   Hubungan timbal balik (resiprokasi)
Ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat lagi dibandingkan dengan deretan yang lain. Karena anak mengetahui hubungan timbal balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada pada kedua deretan itu sama.
c.   Identitas
Anak pada masa operasional konkret ini sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan itu. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, anak mengetahui bahwa jumlah tetap sama.
Hal lain yang masih membatasi kemampuan berpikir konkrit ialah apa yang oleh D. Elkind (1967) disebut egosentrisme. Egosintrisme dalam arti kurang mempunyai si anak membedakan antara perbuatan-perbuatan serta obyek-obyek yang secara langsung dialami dengan perbuatan-perbuatan atau obyek-obyek yang hanya ada dalam pikiran anak.
4.  Tahap berpikir operasional formal (11-15 tahun)
Pada tahap ini, seorang anak memperkembangkan kemampuan kognitif untuk berpikir abstrak dan hipotesis. Pada masa ini anak bisa memikirkan hal-hal apa yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang abstrak dan menduga apa yang akan terjadi. Perkembangan lain pada masa anak atau bisa disebut masa remaja ini ialah kemampuan untuk berpikir sistematik, bisa memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan suatu persoalan. Pada masa ini remaja juga sudah bisa memahami adanya bermacam-macam aspek pada suatu persoalan yang dapat diselesaikan seketika, sekaligus. Tidak lagi satu persatu seperti yang biasa dilakukan anak-anak pada masa operasional konkrit.



















BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perkataan intelegensi dari kata latin “intelligere” yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain (to organize, to relate, to bind together). Istilah intelegensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.

B.   Saran
Bagi pembaca diharapkan memberikan saran dan kritikan yang membangun untuk kesempurnaan studi kasus yang saya buat serta untuk perbaikan kedepannya.










DAFTAR PUSTAKA

Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2004 cetakan ke 12
Walgito Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta: 2010
Suryabrata Sumadi, Psikologi Kepribadian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta: 1966


STUDI KASUS
Perkembangan Inteligensia Pada Kognitif Anak
Tugas Mandiri Diajukan Untuk Memenuhi
Sebagian Tugas Matakuliah Psikologi Belajar





Disusun Oleh :
Nama                          : Rita Susanti
NIMKO                        : 1209.12.06641
Program                      : Strata Satu (S-1)
Program Studi             : PAI
Semester / Lokal         : II (dua) / C
Dosen Pengampu       : Hermanto, S. Psi


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN

2013
MOTTO

kaligrafi-man-jadda-wa-jada.jpg
Barang siapa bersungguh-sungguh
Pasti ada hasil.









i
 
 


PERSEMBAHAN


Studi kasus ini saya persembahkan untuk memenuhi tugas matakuliah Psikologi Belajar.
Juga untuk kedua orang tua yang sudah mendukung dalam pembuatan karya tulis ini.
Ibu yang selalu membimbing saya dalam pembuatan studi kasus ini dan ayah yang memberi material sehingga studi kasus ini dapat saya selesaikan.
Tidak lupa studi kasus ini saya persembahkan kepada orangtua responden yang bersedia dimintai keterangan.
Kemudian studi kasus ini saya persembahkan untuk masyarakat agar dapat memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Dan yang terakhir untuk semua teman-teman PAI II C tercinta J








ii
 
 
KATA PENGANTAR
http://fitrosyafii.files.wordpress.com/2010/06/bismillah.jpg
Segala puji hanya milik Allah swt. Dengan pertolongan dan hidayah-Nya lah, studi kasus ini dapat diselesaikan. Studi kasus ini saya buat dengan tujuan agar dapat dimanfaatkan dalam proses belajar. Dan saya berharap agar para pembaca dapat memberikan kritik dan masukannya yang positif serta saran untuk kesempurnaan studi kasus ini.
Merupakan suatu harapan pula, semoga studi kasus ini tercatat sebagai amal saleh dan menjadi motivator bagi penulis untuk membuat karya lain yang lebih baik dan bermanfaat. Amin.

                                                                                


                                                                                          Tembilahan,     Maret 2013
                                                                                                            Penulis
                                                                                                        Rita Susanti








iii
 
 

DAFTAR ISI


Motto .......................................................................................................................................      i
Persembahan  .........................................................................................................................      ii
Kata Pengantar .......................................................................................................................      iii
Daftar Isi ..................................................................................................................................      v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................      1
  1. Latar Belakang.............................................................................................................      1
  2. Tujuan dan Manfaat.....................................................................................................      1

BAB II IDENTITAS RESPONDEN........................................................................................      2
  1. Data Responden..........................................................................................................      2
  2. Data Orangtua Responden..........................................................................................      2
  3. Observasi yang dilakukan............................................................................................      2

BAB III  PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
  1. Keadaan Anak
1.    Fisik Anak...............................................................................................................      4
2.    Mental Anak...........................................................................................................      4
3.    Kelemahan Anak....................................................................................................      4
4.    Kelebihan Anak......................................................................................................      4
B.    Permasalahan Anak.....................................................................................................      4
1.    Terhadap diri sendiri...............................................................................................      4
2.    Orangtua................................................................................................................      5
3.    Lingkungan ............................................................................................................      5
4.    Sekolah..................................................................................................................      5

BAB IV DASAR TEORITIS ...................................................................................................      6

BAB V PENUTUP
  1. Kesimpulan...................................................................................................................      21
  2. Saran............................................................................................................................      21

Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran
-          Keterangan Ijin Penelitian
-          Keterangan Telah Melakukan Penelitian
-          Identitas Penulis (mahasiswa ybs)




iv
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar